Opini Oleh : Inggar Saputra
SULTRAEKSPRES.COM – Pemilu adalah sistem legal-konstitusional dalam sistem politik dan hukum di Indonesia. Melalui pemilu, masyarakat Indonesia akan menyeleksi dan memilih pemimpin baru baik kalangan eksekutif, dan legislatif. Sosok pemimpin ini akan menjadi nahkoda dalam kepemimpinan lima tahun mendatang yang menentukan kemajuan dan kemunduran bangsa Indonesia.
Sehingga tuntutan yang muncul dalam setiap pemilu adalah kesiapan individu untuk bertanggungjawab dalam menggunakan hak pilihnya. Setiap pemilih bebas menentukan pilihan dari kontestan yang ada, tanpa berhak diintervensi oleh siapapun. Proses dalam pemilu khususnya pemilu presiden di Indonesia diharapkan mampu berjalan penuh kedamaian. Makna damai tentu bukan tidak ada konflik, melainkan dinamika yang ada harus mampu dilokalisir agar tidak meluas.
Bagaimanapun kita memahami gejolak tahun politik pasti muncul disebabkan perbedaan pandangan dan pilihan politik. Tetapi kita harus sadar, kompetisi dalam pemilu presiden berlangsung lima tahun sekali. Sehingga tidak selayaknya merusak hubungan pertemanan, persahabatan apalagi menciptakan permusuhan antar anggota keluarga. Meminjam sebuah perkataan bijaksana, berpolitik sementara tetapi bersahabat selamanya.
Berkaca pada pemilu Presiden 2019, kita harus mulai belajar dari pengalaman pahit yang ada. Kita melihat kondisi saat itu bagaimana pembelahan masyarakat muncul dalam kontestasi yang melibatkan Prabowo Subianto dengan Joko Widodo. Tindakan provokasi, ujaran kebencian, permusuhan dan rasisme muncul di media sosial melalui dorongan buzzer politik. Ancaman disintegrasi bangsa muncul akibat perilaku yang gagal menerapkan siap menang dan siap kalah dalam berdemokrasi.
Konteks ini membuat kita mengangkat wacana Islam damai di tengah dinamika tahun politik. Hal ini mengingat politik Indonesia memiliki kerawanan terhadap stabilitas keamanan dalam negeri. Selayaknya sebuah pesta dalam kehidupan manusia, pemilu harus dikembalikan kepada makna dasar demokrasi. Konsepsi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat menuntut kesungguhan pelaku politik, tim sukses dan semua elemen masyarakat Indonesia.
Dengan pemilu, kita sedang berkompetisi secara fair dalam merebut kekuasaan untuk kemudian dipakai menyejahterakan rakyat. Selayaknya kompetisi, dinamika antar calon tentu wajar terjadi di lapangan dan media sosial. Tapi jangan sampai persaingan membuahkan permusuhan, kebencian dan konflik tak berujung.
Dalam Islam, kepemimpinan dan kedamaian menjadi salah satu aspek penting yang wajib dipelajari dan diamalkan seorang muslim. Rasulullah SAW mengajarkan setiap manusia adalah pemimpin untuk diri, keluarga, masyarakat dan bangsanya. Setiap tindakan kepemimpinan akan dimintai tanggung jawab dunia dan akhirat. Sehingga penting memilih pemimpin yang sesuai nilai dan karakteristik ajaran Islam. Islam mengajarkan nilai dasar kepemimpinan yang bertumpu kepada kejujuran, kepercayaan, aktif dan aspiratif, serta memiliki kompetensi yang cerdas.
Memilih pemimpin adalah tanggung jawab seorang muslim dalam menjawab realitas yang berkembang di masyarakat. Jika seorang berjalan bertiga, maka harus diangkat salah satunya sebagai pemimpin (HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah). Dalam sistem demokrasi, memilih pemimpin menggunakan mekanisme hak pilih (mencoblos) di kotak suara nantinya. Dengan menggunakan hak pilih, seorang muslim akan memiliki konsekuensi logis dalam mengkritik pemimpin jika menyimpang.
Sebaliknya, ketika pemimpin mampu menciptakan kebijakan yang berdampak kepada kebaikan harus didukung.
Dalam menyeleksi dan memilih pemimpin, agama Islam menghendaki proses yang adil dan penuh kedamaian.
Tindakan permusuhan, menebarkan kebencian dan perilaku provokatif atas dasar fanatik kepada calon pemimpin tidak dibenarkan dalam Islam. Boleh mendukung seorang calon pemimpin, tapi hindari sikap fanatik buta yang melanggar hukum dan nilai kepatutan di masyarakat. Selayaknya manusia, setiap calon pemimpin tidak terlepaskan dari kelebihan dan kekurangan dalam hidupnya.
Perilaku menebarkan keburukan seorang calon pemimpin baik melalui sarana tatap muka dan media online tidak dibenarkan dalam Islam. Konteks politik, perilaku tersebut disebut kampanye hitam yang digunakan untuk menjatuhkan lawan politiknya. Hal lain, seperti menyebarkan informasi bohong, ujaran kebencian dan transaksi politik uang juga dilarang. Ini bertentangan dengan spirit berdemokrasi dan tidak sesuai dengan adab seorang muslim.
Seorang muslim yang baik justru harus mendorong sikap berpolitik yang moderat dan menebarkan Islam yang damai di tahun politik. Informasi disampaikan dengan baik, santun dan penuh etika agar tidak terjebak kepada fitnah. Komunikasi politik melalui pesan persuasif berbasiskan rekam jejak, karya, prestasi dan nilai positif justru harus dikedepankan. Narasi provokatif dalam penyebaran informasi di media sosial harus dihindari sebab lebih banyak keburukan dibandingkan kebaikan.
Spirit menebarkan pesan damai dan mendorong pemilu yang damai menjadi penting di tengah gejolak panas tahun politik. Informasi negatif, narasi kebencian dan pemberitaan bohong harus diminimalisir agar tidak berujung kerusuhan dan kekerasan di masyarakat.
Sebagai bangsa yang besar dengan mayoritas penduduknya Islam, kita perlu menunjukkan bagaimana demokrasi di Indonesia penuh kedamaian. Kita percaya Islam dan demokrasi akan sejalan, dan perkembangan demokrasi Indonesia akan membaik ketika masyarakatnya semakin matang dalam berdemokrasi.