Oleh: Inggar Saputra
SULTRAEKSPRES.COM – Kompetisi memilih pemimpin Indonesia selama lima tahun mendatang semakin dekat. Tinggal menghitung bulan, masyarakat Indonesia siap berpesta di alam demokrasi. Sebuah pesta yang sejatinya menghadirkan wajah gembira dan penuh kebahagiaan. Sebab esensi dari pesta demokrasi lima tahun ini mencari persahabatan dan kepemimpinan baru, bukan permusuhan baru yang berkepanjangan.
Dalam setiap zaman termasuk urusan memilih pemimpin dalam pemilu sudah selayaknya mengikuti perkembangan zaman. Setiap zaman selalu berbeda sehingga kemampuan beradaptasi sangat dibutuhkan oleh calon pemimpin. Jika masa orde lama dan orde baru, musim kampanye diramaikan pertemuan massa di lapangan. Kemudian bergeser paska reformasi keriuhan kampanye bergaung di media massa. Sekarang muncul pergeseran komunikasi massa melalui media sosial.
Internet dan media sosial menjadi model kampanye baru di era revolusi industri 4.0. setiap calon pemimpin dituntut mampu mengemas narasi secara kreatif melalui dunia maya. Kemampuan kreatifitas ini penting agar mampu menarik suara pemilih. Apalagi sekarang kampanye dan pemilu diramaikan kalangan pemilih muda yang dominan. Ciri khas anak muda tentunya suka model kampanye kreatif yang unik, berbeda dan mampu sesuai selera mereka yang ikut perkembangan zaman.
Bicara kreativitas, model kampanye para kontestan dapat dikatakan sudah cukup berjalan komunikatif. Ada pasangan yang disebabkan latar belakang sebagai akademisi, memainkan isu dialog sebagai gimmick. Gimmick adalah sebuah tindakan kreatif untuk menciptakan suasana emosional dan menarik perhatian audiens. Setiap pertemuan dengan massa pendukungnya, dialog jadi ”senjata” andalan dalam berkomunikasi. Berbagai gagasan dikupas secara mendalam seperti umumnya kesenangan kalangan intelektual. Hasil akhirnya diserahkan kepada masyarakat sebagai kelompok yang berdaulat penuh dalam menentukan pilihannya. Satu sisi gimmick dialog sangat bagus, tapi konsepsi ini harus merambah wilayah publik lebih luas sehingga tidak membatasi diri kepada kepentingan memikat hati intelektual dan cendekiawan semata.
Tidak berhenti sebatas dialog, kontestan tersebut berupaya menghadirkan keriuhan massa secara offline dan online. Setiap pertemuan berusaha menghadirkan ribuan massa, terlepas apakah itu benar pendukungnya diri dan parpol pengusungnya atau massa dengan kepentingan tertentu. Secara online, potongan dialog dihadirkan melalui media sosial dalam upaya merayu kelompok pemilih. Setiap tema dipilih sesuai segmentasinya, sehingga diharapkan mampu memikat pemilih dengan kelompok usia tertentu. Tak ketinggalan menyebut slepet sebagai gimmick khas dari calon presiden dan wakil presiden nomor urut 01 ini.
Calon pemimpin nasional memang membutuhkan gimmick di era yang menuntut kreativitas sebagai energi utama politik nasional. Tampilnya menari gemoy di pasangan nomor urut 02 menjadikan sesuatu yang lucu, kreatif dan menggemaskan. Branding gemoy dianggap mewakili suara masyarakat terutama bagian menarik perhatian pemilih kalangan muda. Menari gemoy dianggap bentuk lucu-lucuan dan berpolitik gaya santuy (santun-pen). Ini dianggap simbol komunikasi di era kontemporer yang menciptakan identitas masyarakat Indonesia yang suka sesuatu yang lucu dan menjauhi politik retorika yang provokatif.
Tentu branding gemoy memiliki kewajaran dalam upaya membentuk citra pasangan tertentu. Persoalannya kemudian, gimmick ini menghilangkan subtansi dan menjauh dari gagasan apa yang seharusnya disampaikan calon pemimpin nasional lima tahun mendatang. Kita dibiarkan memahami persoalan bangsa secara lucu-lucuan dan menghindar dari tradisi politik beradu gagasan. Sehingga menjadi penting gimmick gemoy sejatinya memiliki narasi atas visi dan misi pasangan tersebut. Ini semata agar gimmick gemoy tidak sekedar miskin subtansi dan edukasi yang mendidik bagi publik sebagai kelompok pemilih dalam pemilu nanti.
Jika diamati ruh bagi pasangan nomor urut 03 dalam menciptakan gimmick politiknya adalah janji semua urusan di negeri cepat beres. Gimmick sat set diciptakan untuk memberikan kesan kepada pemilih terutama anak muda, semua masalah negeri ini ada solusinya. Dalam tataran teknis, istilah sat set didukung konsep KTP sakti yang memotong jalur birokrasi negeri ini yang ribet dan panjang. Ujung dari konsep gerak cepat ini menciptakan Indonesia Unggul yang diklaim lebih baik dari Indonesia Maju. Padahal definisi konkret diantara keduanya sangat tipis, sehingga sulit menilai kebenaran klaim tersebut.
Sat set sebagai sebuah gimmick memiliki konsekuensi yang tidak mudah dalam implementasinya kelak. Sebab kita semua tahu birokrasi Indonesia mengenal adagium klasik ”Kalau bisa besok, mengapa harus sekarang” dan ”Jika bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah” Tantangan sosial budaya ini sudah melekat lama dan tidak semudah membalik telapak tangan mengubahnya. Diperlukan kepemimpinan berbasis komunikasi antar budaya dan komitmen politik yang kuat untuk menghapusnya. Jika berhenti pada gimmick sat set, maka tidak ubahnya narasi kosong kampanye agar terpilih saja, setelah naik panggung kekuasaan maka semua seketika terlupakan.
Sebuah gimmick adalah kewajaran dalam kehidupan berpolitik, apalagi membangun komunikasi emosional dengan pemilih muda bukan persoalan mudah. Tetapi gimmick tentu harus dibangun atas dua pemikiran fundamental yaitu tidak kehilangan subtansi gagasan pemimpin ke depan dan mendekat kepada realitas yang ada di masyarakat. Jangan sampai upaya membranding diri di mana cara tercepat menarik hati pemilih dan memperoleh kekuasaan semata. Setelah keinginan berkuasa dicapai, branding yang diciptakan hanya tinggal sepanjang jalan kenangan sebagaimana muncul dalam sebuah lirik lagu.