banner 728x250

Mematik Sahwat Politik Perempuan Dalam Keikutsertaan di Pemilu Tahun 2024

  • Bagikan
banner 468x60

Opini Oleh : Abdul Bahar

Sultraekspres.com – Upaya untuk memperkuat partisipasi politik perempuan di Indonesia harus ditempatkan di dalam konteks transisi yang tengah dialami bangsa Indonesia menuju ke sistem politik yang lebih demokratis. Inti demokrasi adalah upaya menjamin kesetaraan politik bagi seluruh warga, tak terkecuali kelompok marjinal dan kaum minoritas. Meskipun secara demografis mayoritas penduduk Indonesia adalah perempuan, mereka tak lebih dari mayoritas bisu, kelompok besar yang termarjinalkan secara politis, sosial, kultural dan ekonomis, yang hampir selalu absen pada proses-proses pengambilan keputusan.serta belum banyak menaruh perhatian pada pentingnya strategi non – kuota terhadap peningkatan keterwakilan politik perempuan.

Sebagai usaha mengisi kesenjangan keterkaitan antara tantangan kebijakan dan strategi peningkatan keterwakilan perempuan pada ranah Lembaga penyelenggara pemilu. Keterwakilan politik perempuan selama ini menekankan pada pentingnya kebijakan kuota sebagai mekanisme paling efektif untuk meningkatkan keterwakilan perempuan, terutama di dalam parlemen dan partai Politik namun di Indonesia, implementasi kebijakan kuota keterwakilan politik perempuan yang telah diterapkan sejak tahun 2004 masih belum memenuhi angka 30 persen hingga saat ini.

Bahwa meskipun keterlibatan perempuan sebagai penyelenggara pemilu telah dijamin secara formal oleh Undang-Undang Pemilu, tetapi upaya memenuhi kuota keterwakilan perempuan dalam lembaga penyelenggara pemilu masih dihadapkan pada sejumlah persoalan dan yang menjadi pertanyaan penulis apakah rendahnya keterwakilan perempuan tersebut sangat terkait dengan beragam tantangan yang dihadapi oleh perempuan dalam proses seleksi.

Di satu sisi, apakah sumber daya perempuan potensial masih terbatas untuk mengisi posisi jabatan publik. Sehingga Akibatnya dari sisi jumlah, pendaftar perempuan memang jauh lebih sedikit daripada laki – laki. Selain itu, apakah perempuan juga masih dihadapkan pada persoalan kapasitas internal yang terkait dengan pengetahuan, pengalaman, dan jejaring kepemiluan.

Menurut Dr Andi Dzul Padli Dosen Pengampuh Pengantar Ilmu Politik Universitas Lakidende menyatakan Bahwa Hak-hak Politik Perempuan, keseluruhannya tetap menyuarakan perlindungan terhadap kesetaraan hak politik antara laki-laki dan perempuan namun seringkali pada kenyataannya Indonesia masih belum mampu mengimplementasikannya secara maksimal.

Hal ini dikarenakan sistem politik dan partai-partai politik di Indonesia tidak peka terhadap isu jender. Akibatnya, kaum perempuan berikut isu-isu yang menyangkut diri mereka sangat disepelekan. Faktor lain yang sangat berpengaruh terhadap sistem politik ialah adanya persepsi yang menganggap perempuan hanya pantas menjadi ibu rumah tangga, bukan warga masyarakat, apalagi aktor politik. Struktur politik Indonesia dibangun di atas jaringan yang sangat eksklusif, yang didominasi oleh kaum lelaki.Kepemimpinan dalam struktur politik pun didominasi oleh laki-laki.

Di samping itu, kurangnya transparansi dalam pemilihan pemimpin partai sangat membatasi peluang kaum perempuan dalam upaya mereka memposisikan diri sebagai kandidat yang pantas. Selain itu kurangnya loyalitas pribadi, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) sebagai kumpulan penyakit yang menggerogoti sistem politik saat ini. Keengganan parpol untuk memasukkan agenda perempuan juga disebut sebagai salah satu kendala besar. Sehingga, dapat dikatakan secara de jure Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk melindungi hak poltik perempuan dengan mensetarakan hak politik perempuan melalui undang-undang dan konvensi yang diratifikasi, namun dari segi parpol atau masyarakat atau de facto masih kurang paham dan masih melekat stereotip negatif terhadap perempuan sehingga menjadi hambatan besar atau dengan kata lain perlindungan hak politik perempuan baru sebatas de jure namun dalam de facto belum maksimal implementasi terhadap perlindungan hak politik perempuan.

Dengan demikian, kewajiban negara kini ialah tetap menyediakan perangkat dan kewajiban mendapat hasil nyata, penghormatan, pemenuhan dan perlindungan terhadap hak politik perempuan, dan tindakan afirmasi untuk hak perempuan. Melihat tantangan dan hambatan terhadap bangsa Indonesia terkait keterwakilan perempuan dalam politik, maka sekiranya dibutuhkan suatu strategi untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan di Indonesia, antara lain: Tingkatkan Kesadaran tentang Hukum dan Peraturan Pemilu UU dan peraturan sistem pemilu dan pencalonan harus transparan dan bisa dipahami oleh masyarakat, terutama kaum perempuan.

Dengan meningkatkan kesadaran dan pengetahuan perempuan tentang UU Pemilu dan perubahan struktur dan proses pemilu, secara otomatis itu akan meningkatkan partisipasi mereka. Mengorganisir Perempuan untuk Menjadi Kandidat Dalam sistem pemilu apapun perempuan harus dipersiapkan untuk menjadi calon, dan untuk itu perempuan harus merapatkan barisan dan mengorganisir diri mereka baik di dalam maupun di luar partai.

Tingkatkan gerakan penyadaran itu melalui pelatihan kepemimpinan atau seminar jika perlu, agar dapat mengembangkan keterampilan serta pengetahuan mereka dalam menyongsong karir politik di masa mendatang. Mengorganisir Kelompok Perempuan dan Memperkuat Jaringan Kerja Perkuat lah jaringan perempuan, dan lakukanlah berbagai tekanan yang tegas. Gerakan perempuan yang tegas bisa menerjemahkan keanggotaan mereka menjadi suara pemilih, yang berarti kelak partai-partai besar (yang umumnya didominasi lelaki) akan tergerak untuk memasukkan tokoh-tokoh perempuan ke dalam daftar caleg mereka.

Gerakan untuk Mengubah Struktur Organisasi Partai Jumlah lelaki yang memegang posisi strategis di partai jauh melampaui apa yang dicapai perempuan. Dan ini berarti bahwa lelaki selalu ada di dalam daftar kandidat partai. Kepada perempuan harus diberikan kemudahan untuk mengakses sumber daya atau informasi yang akurat atau terkini sebagai input bagi mereka dalam mengambil keputusan atau menyajikan bukti-bukti untuk keperluan mendesakkan sebuah legislasi yang sejajar bagi kedua jender.

Olehnya itu penekanannya adalah bagaimana memantik syahwat politik perempuan sehingga mampu turut andil dalam pemilu 2024 kedepan bagi penulis.

hal tersebut bisa terwujud dengan Menghadirkan Kepentingan Perempuan dalam Representasi Politik di Indonesia melalui hal-hal sebagai berikut :

1. Perlu perbaikan dan penguatan terhadap sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak. Harus disadari representasi politik saat ini memiliki dua dimensi relasi yaitu (1) yang berbasis pada relasi individu (seorang pemilih dengan hak suaranya) dengan calon atau wakil rakyatnya, serta (2) yang berbasis pada relasi agregatif antara warga (kumpulan individu) dengan partai politik. Saat ini partai politik fokus hanya pada dimensi relasi yang pertama, yakni menjual figur/sosok calon legislatif pada pemilu legislatif untuk berelasi kepada pemilih. Partai politik cenderung abai terhadap dimensi yang kedua untuk menghadirkan ideologi, platform, gagasan, dan program yang akan mereka kontestasi kan dan perjuangkan, yang berbeda dari partai lain, sehingga mampu mengorganisir kepentingan warga. Sistem proporsional terbuka sudah memberi fondasi agar 2 dimensi relasi tersebut hadir bersamaan dan saling menguatkan, dan bukan memilih salah satu bentuk relasi saja. Sehingga saat ini partai politik perlu menggarap dimensi kedua dengan membenahi kelembagaan dengan menghadirkan 3 hal yakni (1) Partai politik perlu hadir dengan platform dan ideologi untuk membentuk dan menghadirkan identitas kolektif pemilih berbasis pada relasi agregatif antara warga (kumpulan individu) dengan partai politik, karena platform dan ideologi akan jadi basis kontrol dan pembentuk kesadaran bersama bukan individu yang selama ini jadi pengikat. (2) mekanisme rekrutmen dan pengelolaan keanggotaan agar memiliki penjenjangan karir politik yang jelas. (3) mekanisme pemilihan dan penetapan calon yang demokratis dan berbasis pada kompetensi dan ideologi, terutama perlunya aturan khusus untuk pencalonan afirmatif perempuan di dalam partai politik. Gerakan perempuan perlu melakukan klaim representasi politik non-elektoral untuk menghadirkan kembali kepentingan.

2. Urgensi gerakan perempuan untuk memaksa dan menuntut komitmen partai politik terhadap kepentingan perempuan, yang pada akhirnya membentuk hubungan yang bersifat antagonistik. Peran dari aktor representasi politik non-eletoral menjadi teramat penting dalam proses agregasi dan menghadirkan kepentingan, termasuk mendorong antagonisme posisi politik kekuatan di parlemen terhadap suatu wacana atau isu.

3. Perlu mendorong kaderisasi, keanggotaan, dan kelembagaan internal partai yang lebih baik dengan penerapan kuota partai untuk perempuan. Pertama, penerapan minimal 30% pada kepengurusan partai di tingkat pusat dan daerah. Aturan tersebut membuka akses perempuan untuk terlibat dalam berbagai kebijakan dan keputusan yang diambil partai dalam kaderisasi dan rekrutmen anggota serta dalam pencalonan anggota legislatif. Kedua, pencalonan anggota legislatif perempuan oleh partai politik juga diperlukan mekanisme perimbangan basis rekrutmen. Dari total angka pencalonan. Perempuan, perlu dipilah basis rekrutmennya, yang berasal dari 30 % perempuan yang menjadi pengurus partai, 30% dari kader partai dan organisasi di bawah partai, dan 30% lagi rekrutmen terbuka dari masyarakat yang mengutamakan perempuan. Jika pendanaan oleh negara dilakukan maka harus dialokasikan untuk pendidikan politik dan rekrutmen politik yang dilakukan oleh partai politik seperti pada poin ketiga di atas, membuat partai politik harus terbuka dan tidak berlaku diskriminatif sebagai konsekuensi penggunaan anggaran negara. Untuk itu perlu mengidentifikasi perempuan-perempuan potensial dalam merepresentasikan kepentingan politik perempuan dalam upaya mendorong partai mencalonkan caleg perempuan yang memiliki kualitas dan potensi di wilayah basis kekuatannya. Untuk itu perlu dukungan database caleg perempuan potensial yang perlu didorong oleh gerakan perempuan, akademisi, dan CSO kepada partai politik untuk mencalonkan dengan mempertimbangkan wilayah penempatan yang strategis pula.

4. KPU perlu mengatur regulasi dalam tahapan kampanye pemilu agar proses kampanye membuka proses deliberasi untuk membenturkan antara platform, visi misi, dan program antar partai politik dengan agregasi dan perumusan kepentingan yang telah dihasilkan antara warga dengan gerakan representasi politik non-elektoral. Jadikan platform, visi misi, dan program partai politik menjadi dokumen yang hidup selama proses tahapan pemilu dan dapat didialogkan dalam mekanisme debat terbuka dan debat publik, serta terbuka ruang bagi partai melakukan revisi, penambahan, atau pengurangan selama proses kampanye berlangsung untuk mengakomodir tuntutan kepentingan yang muncul dari bawah. Dokumen tersebut akan menjadi acuan bersama untuk menghadirkan kembali kepentingan pada pembahasan di parlemen.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *