Oleh: Dr. Azwar Amiruddin., S.E., Ak., S.H., M.H., M.Ak., M.A (tax)., CPA
Praktisi Hukum dan Akademisi Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia
Perubahan kebijakan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) pertambangan dari masa berlaku 3 tahun menjadi evaluasi tahunan, seperti yang diusulkan oleh Komisi XII DPR dan disetujui oleh Menteri ESDM Bahlil Lahadalia pada Juli 2025, menimbulkan sejumlah pertanyaan hukum yang serius, terutama terkait kepastian hukum bagi perusahaan yang telah mendapatkan persetujuan RKAB 3 tahun sebelumnya. Kebijakan ini didasarkan pada alasan penyesuaian produksi dengan dinamika pasar, khususnya untuk mencegah kelebihan pasokan batubara yang menekan harga dan mengurangi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Namun, perubahan di tengah periode berjalan berpotensi melanggar prinsip Non-Retroactive dan kepastian hukum yang dijamin dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan serta UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan perubahannya.
Secara normatif, RKAB 3 tahun untuk tahap Operasi Produksi telah diatur dalam Permen ESDM No. 10 Tahun 2023 yang kemudian disempurnakan oleh Permen ESDM No. 15 Tahun 2024, dengan dasar hukum utama PP No. 96 Tahun 2021 yang diubah oleh PP No. 25 Tahun 2024. Aturan ini memberikan kepastian bagi perusahaan tambang untuk merencanakan investasi dan operasional jangka menengah. Namun, ketika pemerintah memutuskan untuk mengembalikan RKAB menjadi tahunan mulai 2026 dengan tenggat pengajuan ulang pada Oktober 2025 perusahaan yang telah memiliki RKAB 3 tahun (misalnya untuk periode 2024–2026) dihadapkan pada ketidakpastian. Mereka dipaksa mengajukan ulang RKAB untuk tahun 2026, meskipun, seharusnya masih berlaku hingga akhir 2026 berdasarkan persetujuan sebelumnya.
Dari perspektif hukum, langkah ini dapat dikategorikan sebagai perubahan kebijakan yang bersifat retroaktive, karena mengganggu hak-hak perusahaan yang telah memperoleh persetujuan berdasarkan aturan lama. Di dalam pembahasan Lampiran Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 di mana secara tegas melarang penerapan peraturan yang berlaku surut, kecuali untuk kepentingan umum yang diatur secara khusus, juga turut diatur bahwa peraturan perundang-undangan yang diberlakukan surutkan juga hendaknya memuat ketentuan mengenai status dari tindakan hukum yang terjadi, atau hubungan hukum yang ada di dalam tenggang waktu antara tanggal mulai berlaku surut dan tanggal mulai berlaku pengundangannya. Sementara alasan pemerintah seperti stabilitas harga batubara dan PNBP dapat dikategorikan sebagai kepentingan ekonomi makro, langkah ini tetap harus mempertimbangkan asas proporsionalitas dan perlindungan terhadap hak acquired rights perusahaan. Ombudsman RI bahkan telah menemukan maladministrasi dalam proses penerbitan RKAB sebelumnya, termasuk ketidakjelasan pendelegasian kewenangan dari Menteri ESDM ke Dirjen Minerba tanpa dasar hukum yang memadai.
Di sisi lain, pemerintah memiliki kewenangan untuk merevisi kebijakan demi menyesuaikan dengan kondisi pasar, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Ayat 3 Permen ESDM No. 15 Tahun 2024, yang mengizinkan perubahan RKAB lebih dari sekali jika terjadi “perubahan kebijakan pemerintah terkait jumlah produksi” atau “keadaan kahar”. Namun, perubahan ini seharusnya disertai dengan mekanisme transisi yang jelas seperti: grandfather clause untuk perusahaan yang sudah memiliki RKAB 3 tahun, agar tetap berlaku hingga masa berakhirnya. Selanjutnya sosialisasi intensif sebelum penerapan, sangat dibutuhkan mengingat Dirjen Minerba mengakui belum melakukan sosialisasi menyeluruh hingga Juli 2025.
Penyesuaian sistem evaluasi juga diperlukan untuk menghindari penumpukan permohonan, mengingat kapasitas Ditjen Minerba terbatas (hanya 830 RKAB mineral yang disetujui dari 1.045 pengajuan pada 2024).
Tanpa langkah-langkah tersebut, kebijakan ini berisiko memicu gugatan hukum dari perusahaan tambang ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dengan dalih pelanggaran asas kepastian hukum dan kerugian ekonomi akibat perubahan sepihak. Apalagi, industri tambang telah menginvestasikan dana besar berdasarkan RKAB 3 tahun, termasuk untuk reklamasi, pengolahan limbah, dan pemenuhan kewajiban PNBP. Jika RKAB tahun 2026 ditolak atau diperlambat persetujuannya, operasional tambang bisa terhambat bahkan terhenti yang berimplikasi pada pelanggaran kontrak dengan pembeli dan PHK massal tenaga kerja di site.
Solusi Hukum yang Berkeadilan
Untuk meminimalkan konflik, pemerintah seharusnya mengadopsi pendekatan gradual implementation yaitu mempertahankan RKAB 3 tahun untuk perusahaan yang sudah mendapat persetujuan sebelum 2025, sambil menerapkan RKAB tahunan untuk permohonan baru. Hal ini selaras dengan Pasal 10A Permen ESDM No. 15 Tahun 2024, yang mengizinkan perubahan RKAB “sewaktu-waktu” hanya jika ada perubahan kebijakan atau studi kelayakan.
Selanjutnya, mempercepat digitalisasi proses evaluasi melalui sistem Minerba One yang dijadwalkan diluncurkan awal 2025, agar tidak terjadi penundaan seperti yang dialami oleh 185 permohonan batubara yang masih “proses/tidak diterbitkan” pada 2024. Pemerintah juga perlu lebih melibatkan pelaku usaha dalam penyusunan aturan turunan, sebagaimana diminta oleh Indonesian Mining Association (IMA), untuk memastikan kebijakan realistis dan tidak merugikan investasi.
Menjadi suatu bahan refleksi untuk stakeholder bahwa perubahan kebijakan RKAB dari 3 tahun ke 1 tahun memang diperlukan untuk merespons fluktuasi pasar, tetapi harus dilakukan dengan landasan hukum yang kuat dan mekanisme transisi yang adil. Pemerintah perlu segera menerbitkan Permen ESDM baru diikuti penegasan berupa Surat Edaran yang mengatur internal pelaksanaan Permen yang akan mengatur teknis penerapan kebijakan ini, termasuk pengecualian bagi perusahaan dengan RKAB 3 tahun yang masih berlaku. Jika tidak, risiko ketidakpastian hukum dan gugatan administratif akan mengganggu iklim investasi pertambangan, yang justru kontraproduktif dengan tujuan awal kebijakan ini, yaitu menjaga stabilitas ekonomi nasional. (**)