banner 728x250

Keadilan dan Kepastian Hukum sebagai Pondasi Kepatuhan Pajak: Urgensi PMK Pengawasan Kepatuhan Wajib Pajak

  • Bagikan
banner 468x60

Oleh: Dr.Azwar Amiruddin, S.E.,S.H., M.H., M.Ak., M.A(tax) CLA., CLI., CPA.,Ak., APCIT., APCTP

Akademisi Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar
(Direktur Utama Fisca Group Indonesia dan Praktisi Pajak)

 

Sistem self-assessment perpajakan Indonesia yang mengandalkan voluntary compliance menghadapi tantangan serius ketika data Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menunjukkan stagnasi kepatuhan. Berdasarkan data terbaru dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP), rasio kepatuhan pengisian SPT Tahunan menunjukkan perkembangan yang berfluktuasi dalam dua tahun terakhir, di mana pada tahun 2023 mencapai 88% dengan 17,1 juta SPT berhasil diterima dari total 19,4 juta Wajib Pajak yang wajib melaporkan, menandakan peningkatan dibandingkan tahun 2022 (86,8%) dan 2021 (84,07%). Namun, hingga akhir tahun pajak 2024, rasio kepatuhan formal mengalami penurunan menjadi 85,75% meskipun secara absolut jumlah SPT yang dilaporkan meningkat menjadi 16,52 juta dari target 16,04 juta, di mana pada periode pelaporan utama hingga April 2024 rasio sementara tercatat sebesar 73,61% dengan pertumbuhan 7,15% year-on-year.

 

Persoalan mendasar terletak pada ketergantungan terhadap Surat Edaran DJP (SE) sebagai instrumen pengawasan kepatuhan, yang meskipun praktis secara operasional, mengandung kelemahan struktural karena sifatnya yang tidak mengikat secara hukum dan rentan menimbulkan multitafsir. Kondisi ini diperparah oleh fragmentasi regulasi dengan setidaknya 16 SE berbeda yang mengatur aspek pengawasan, menciptakan kompleksitas pemahaman bagi Wajib Pajak, terutama dalam menghadapi asimetri informasi terkait penggunaan big data oleh fiskus. Studi empiris di berbagai Kantor Pelayanan Pajak (KPP) mengungkap bahwa 68% Wajib Pajak tidak memahami dasar penetapan potensi pajak mereka, suatu kondisi yang bertentangan dengan prinsip Slippery Slope Framework yang menekankan keseimbangan antara kepercayaan (trust) dan penegakan hukum (power).

 

Teori ini, yang dikembangkan oleh Kirchler (2008), menjelaskan bahwa kepatuhan pajak optimal hanya dapat tercapai ketika terdapat kombinasi antara kepercayaan Wajib Pajak terhadap sistem dan kapasitas otoritas dalam melakukan penegakan hukum. Dalam konteks Indonesia, ketidakseimbangan ini terlihat jelas ketika insentif seperti yang diatur dalam PMK No. 10/2025 tentang pembebasan PPh 21 tidak diimbangi dengan transparansi mekanisme pengawasan.

 

Reformasi kebijakan 2025 melalui Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) menunjukkan langkah progresif dengan fokus pada lima pilar utama: reorganisasi kelembagaan, pengembangan SDM, pemanfaatan teknologi, penyederhanaan proses bisnis, dan pembaruan regulasi. Namun, implementasinya masih menghadapi kendala signifikan, terutama dalam hal adopsi teknologi oleh Wajib Pajak UMKM dan kesiapan infrastruktur di daerah. Data terbaru menunjukkan bahwa hanya 31% pelaku UMKM yang memahami insentif PP 23/2018, sementara implementasi kenaikan tarif PPh Orang Pribadi menjadi 35% dan PPN menjadi 12% berpotensi menurunkan tax morale jika tidak disertai peningkatan kualitas pelayanan. Digitalisasi perpajakan melalui e-Filing dan e-Bupot yang sempat berhasil meningkatkan rasio kepatuhan sebesar 4,57% pada periode 2019-2020 kini menghadapi tantangan baru dengan kompleksitas sistem yang terus bertambah. Penyatuan berbagai platform pelaporan dalam unified e-Bupot justru dikeluhkan menambah beban kepatuhan, terutama bagi Wajib Pajak yang belum melek teknologi. Di sisi lain, pengembangan sistem risk-based audit berbasis artificial intelligence untuk 5.000 fiskus pada 2025 berpotensi menciptakan kesenjangan baru dalam kapasitas pengawasan antara Wajib Pajak besar dan UMKM.

 

Solusi komprehensif memerlukan pendekatan multidimensi yang mencakup aspek regulasi, kelembagaan, dan teknis. Pertama, konversi SE menjadi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) khusus tentang pengawasan kepatuhan akan memberikan kepastian hukum yang lebih baik dengan mengatur secara jelas hak Wajib Pajak untuk mendapatkan klarifikasi dan kewajiban fiskus dalam transparansi data. Kedua, harmonisasi UU KUP baru perlu memasukkan definisi baku tentang “kepatuhan material” dan “data konkret” untuk mengurangi ruang sengketa. Ketiga, optimalisasi teknologi melalui integrasi blockchain untuk pelacakan transaksi afiliasi dan pengembangan sistem CRM 2.0 berbasis data real-time dapat meningkatkan efektivitas pengawasan. Pendekatan behavioral melalui penerapan nudge theory dan gamification dalam layanan perpajakan terbukti efektif meningkatkan kepatuhan sukarela. Pengalaman beberapa negara menunjukkan bahwa penyampaian pesan personalisasi melalui SMS reminder dan pemberian penghargaan simbolis seperti badge “WP Teladan” dalam aplikasi e-Filing dapat meningkatkan tax compliance hingga 15%. Di sisi kelembagaan, pembentukan Direktorat Data dan Informasi Perpajakan sebagai bagian dari transformasi organisasi DJP perlu di-imbangi dengan peningkatan kapasitas analisis data dan komunikasi efektif dengan Wajib Pajak.

 

Tantangan ke depan adalah menciptakan keseimbangan antara penguatan penegakan hukum dan peningkatan kepercayaan Wajib Pajak. Inisiatif seperti portal publik yang menampilkan kriteria pengawasan secara transparan dan program sosialisasi proaktif melalui “DJP Menyapa” perlu diperluas jangkauannya. Dengan pendekatan komprehensif ini, target peningkatan rasio kepatuhan menjadi 90% pada 2026 dapat dicapai sekaligus membangun ekosistem perpajakan yang lebih adil dan berkelanjutan. Kunci keberhasilannya terletak pada konsistensi implementasi dan evaluasi berkelanjutan terhadap dampak setiap kebijakan terhadap perilaku kepatuhan Wajib Pajak. (**)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *