KENDARI- Sulawesi Tenggara (Sultra) bagai surga bagi para pengusaha tanah merah. Kekayaan alam Sultra, adalah anugerah tersendiri dari yang maha kuasa. SDA Sultra jadi berkah tersendiri bagi para korporasi.
Sejak terbukanya potensi tambang di bumi anoa, Sultra ini bagai gadis indah yang sangat menawan. Bahkan, bukan hanya para pengusaha nasional yang datang mengeruk kekayaan alamnya, akan tetapi ada juga perusahaan dari luar Indonesi yang datang mengais reski di bumi anoa.
Dibalik anugerah dari sang pencipta, alih-alih bicara soal kesejahteraan. Justru, keberadaan tambang di Sultra jadi bencana tersendiri. Bencana alam sudah tidak terhitung, disaat yang bersamaan kasus tindak pidana korupsi justru tumbuh subur. Sudah banyak petinggi perusahaan tambang masuk dijeruji besi.
Saat ini, Sultra jadi daerah dengan atensi khusus dari Aparat Penegak Hukum (APH). Satgas PKH sudah melakukan beberapa penutupan tambang yang dinilai melanggar hukum.
Kejati Sultra juga tak ketinggalan, terbaru Kejati Sultra banyak melakukan penyelidikan terkait kasus tindak pidana korupsi dibidang pertambangan. Kadis Kehutanan Prov Sultra, Dedi Irwanto, sudah beberapa kali dipanggil untuk dimintai keterangan terkait tindak pidana korupsi dibidang pertambangan.
Publik justru bertanya, apakah ada korelasi antara korupsi yang dilakukan oleh korporasi dan keterlibatan elit di Sultra.
Inilah yang disorot Aktivis Muda Sultra, Erit. Menurut Erit, Kejaksaan harus membuka secara terang kasus tindak pidana korupsi. Jangan sampai ada kokalingkong antara pengusaha dan juga pejabat yang ada di Sultra.
Publik, lanjut Erit, wajar menduga-duga. Erit mencontohkan, kasus dugaan gratifikasi pembangunan Kantor Dishut Sultra perlu dipertanyakan. Tidak pernah dianggarkan dalam APBD tiba-tiba melakukan pembangunan dengan biaya miliaran rupiah.
Erit lantas bertanya uang siapa yang dipakai untuk membangun kantor di Dishut Sultra? Kalau alasannya adalah sumbangan dari para pegawai. Pegawai mana dengan suka rela bahkan merogoh koceknya puluhan juta untuk tujuan pembangunan kantor? Aneh kata Erit, tapi itulah kenyataannya.
Jadi, lanjut Erit, wajarlah kalau ada dugaan main mata antara pengusaha dan pejabat.
“Pertanyaan ini semakin relevan ketika informasi mencuat bahwa sang Plt. Kadis tengah diperiksa oleh Kejaksaan terkait dugaan korupsi tambang nikel di Bombana dan Konawe Utara,”ujar Erit.
Peristiwa ini menarik ditelisik soal asal-usul uang. Jika benar dana pribadi digunakan, publik berhak tahu apakah harta tersebut wajar sesuai profil penghasilan seorang PNS atau justru bersumber dari aliran dana tambang ilegal yang kini diselidiki aparat penegak hukum.
Apalagi diketahui, ungkap Erit, bahwa Dedi Irwanto tupoksi bidangnya sebelum diangkat jadi Plt Kadis Kehutan Pemprov Sultra, berkaitan erat dengan urusan perizinan tambang dalam kawasan hutan.
Fenomena ini memberi sinyal adanya pola klasik: “pencitraan melalui proyek kebaikan” untuk menutupi jejak kasus besar. Revitalisasi kantor memang terlihat indah, namun bisa menjadi kamuflase gratifikasi dan praktik korupsi yang lebih terstruktur.
Disinilah, tambah Erit, APH diuji keberanian untuk mengungkap siapa actor-aktor yang sudah bermain di sektor pertambangan di Sultra.
“Jika APH tidak berani, kasus ini hanya akan menjadi contoh buruk bagaimana uang tambang di Sultra terus mengalir ke kantong elit, lalu dibungkus dalam balutan kebaikan semu,”ungkap Erit.