banner 728x250

Potret Buram Penegakan Hukum di Sultra, Menang Kasasi Turun Sita Eksekusi Alwi Lie Tetap Tak Dapat Keadilan

  • Bagikan
Pengadilan Negeri Kendari saat turun melakukan sita eksekusi atas perkara perdata yang dimenangkan Alwi Lie
banner 468x60

KENDARI, SULTRAEKSPRES.COM – Sebagai lembaga yudikatif. Pengadilan adalah satu-satunya wakil tuhan dibumi yang punya kewenangan dalam memutus perkara seseorang dalam mencari keadilan.

Namun patut disayangkan. Bagaimana tidak, putusan pengadilan Nomor. 1578 K/Pdt/2011. Perkara perdata antara Perum Bulog Divre Sulawesi Tenggara (Sultra) dan Alwi Lie. Dimana putusan kasasi Mahkamah Agung ( MA) yang dimenangkan oleh Alwi Lie justru mandek.

Aktivis muda Sultra, Erit, turut menyayangkan. Erit bilang, kasus ini salah satu contoh bagaimana buruknya penegakan hukum dibumi anoa.

Bagaimana mungkin dengan putusan yang sudah inkrah, justru tak ada nilainya. Sejatinya dengan adanya putusan inkrah, menjadikan sebuah perkara menjadi terang benderang siapa yang punya atas perkara perdata.

“Tapi kenyataannya, justru putusan pengadilan tak bisa menjadi pegangan dalam mencari keadilan,”ujar Erit, belum lama ini.

Erit justru bingung, kalau lembaga yudikatif sudah tak bisa dijadikan tempat mencari keadilan, maka kemana lagi harus mencari keadilan dinegeri ini?.

Jika membaca semua putusan, lanjut Erit, seharusnya clear and clean. Tanah milik Alwi Lie yang kini ditempati Eko Wijaya Koeswandi dan lainnya. Seharusnya sudah diserahkan kepada Alwi Lie. Tapi kenyataannya hingga kini tak ada tindakan apapun dari penegak hukum.

Berkaca atas penguasaan lahan milik Alwi Lie oleh pihak Eko Wijaya Koeswandi dan lainnya. Maka dasar penguasaan justru salah alamat.

Dasar penguasaan Eko Wijaya Koeswandi dan lainnya adalah sertifikat hak milik nomor 6711 atas nama Tuty Arifin.

Padahal jika membaca putusan pidana No: 235/PID.B/2002/PN.KDI. milik Tuty Arifin disitu jelas dan gamblang dijelaskan bahwa terbitannya SHM milik Tuty Arifin oleh BPN Kendari setelah melalui menunggu hasil  pengembalian batas tanah sertifikat No. 114 tahun 1978 atas nama Wongko Amirudin yang disita oleh Dolog Sultra.

Setelah pengembalian batas tanah tersebut, lanjut dia, dan dinyatakan tidak tumpang tindih dengan SHM milik Tuty Arifin barulah proses penerbitan sertifikat dilakukan oleh BPN.

“Artinya ini kan clear and clean persolan tanah yang kemudian jadi milik Alwi Lie dari Wongko Amirudin dan SHM milik Tuty Arifin. Pertanyaannya kenapa justru ada yang menempati lahan tersebut berdasarkan SHM milik Tuty Arifin,”papar Erit.

Lagian, tutur Erit, yang berperkara Alwi Lie dan Dolog Sultra. Mengapa tiba-tiba masuk Eko Wijaya Koeswandi dan lainnya masuk menguasai tanpa ada dasar yang jelas.

Apalagi, jika melihat perkara yang menyeret Wongko Amirudin, dengan perintah mengembalikan kerugian negara. Alwi Lie sudah mengeluarkan uang senilai Rp. 850.000.000 (Delapan Ratus Lima Puluh Juta).

Pengadilan juga, sambung Erit, sudah turun melakukan sita eksekusi lapangan. Tapi pada akhirnya hingga kini tak ada artinya. Pasalnya, lahan milik Alwi Lie tetap tak diberikan. (**)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *