UNAAHA- Polemik lahan yang berada di Kecamatan Lambuya, yang diklaim sebagai lahan dua transmigrasi terus bergulir.
Polemik yang berkepanjangan itu, sebenarnya tidak serumit yang dipikirkan.
Andai, kata Epri, salah satu perwakilan dari tujuh rumpun yang saat ini menguasai lahan, didudukkan dengan data dan fakta.
Epri bilang, sebagai pribumi, yang dituduh merampas lahan warga transmigrasi, sungguh tidak masuk akal.
Kehadiran transmigrasi itu sangat jelas. Berdasarkan pengaturan dari pemerintah dan lahannya jelas.
“Aturannya jelas, setiap Kepala Keluarga (KK) hanya bisa memiliki 2 Ha lahan transmigrasi. Lalu pertanyaannya bagaimana mungkin transmigrasi mengklaim ratusan Ha lahan milik pribumi,”papar Epri.
Kehadiran sekitar 100 KK transmigrasi, jika berkaca pada aturan harusnya lahan yang dikuasai hanya sekira 200 Ha. Kenyataannya, lanjut Epri, saat ini lahan yang mereka tempati sekitar 250 Ha juga diklaim sebagai lahan transmigrasi.
Pihaknya juga tidak pernah tinggal diam untuk mencari fakta yang sesungguhnya. Berdasarkan surat dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Konawe tanggal 5 Juni 2024 sudah mengeluarkan surat terkait lahan transmigrasi.
“Lalu darimana klaim bahwa itu milik lahan transmigrasi? Kalau pemerintah saja tidak punya data? Siapa yang punya kapasitas yang menyatakan bahwa itu lahan milik transmigrasi?,”terangnya.
Pj Konawe saat itu Harmin Ramba, diberbagai kesempatan bilang bahwa lokasi tersebut bukan transmigrasi, melainkan sudah ada yang menjual. Ini, tambah Epri, makin aneh. Bagaimana mungkin Pemda saja, tidak mengakui bahwa lahan tersebut adalah milik transmigrasi, tapi yang dibangun narasi justru itu lahan dua transmigrasi.
Epri juga menyampaikan, apa yang dilakukan rumpun Lowuno, hanya mempertahankan hak. Sejak kedatangan transmigrasi tahun 1974, tidak pernah ada konflik. Yang jadi soal saat ini, masyarakat Transmigrasi mau mengambil juga lahan yang diduga bukan milik transmigrasi.
“Coba tunjukan aturan mana yang 100 KK transmigrasi diberikan lahan oleh pemerintah melebihi dari ketentuan? Pribumi dengan tangan terbuka menerima kehadiran transmigrasi. Tapi jangan lagi mau mengambil yang bukan hak yang sudah ditetapkan oleh pemerintah,”papar Epri.
Pemerintah, tambah Epri, harus mengambil sikap yang berbasis data, bukan berdasarkan tekanan.
Jika melihat lebih jauh, dasar klaim transmigrasi sangat jauh dari narasi yang dibangun seolah tanah mereka dirampas.
Jika membuka data 12 September 2002 lalu, justru lahan yang diklaim itu terjadi kesepakatan jual beli. Bahkan nilainya fantastis Rp 80 juta. Ini juga yang jadi pertanyaan, kalau betul itu lahan transmigrasi mengapa diperjualbelikan?
Epri mendorong penegak hukum untuk turun tangan melakukan penyelidikan. Bagaimana mungkin lahan transmigrasi diperjualbelikan.
“Mana ada lahan transmigrasi diperjualbelikan. Kehadiran transmigrasi itu berdasarkan aturan, pengadaan lahan itu tugas pemerintah bukan warga transmigrasi yang transaksi jual beli atau ganti rugi lahan,”ujarnya.