KENDARI- Perwakilan keluarga tujuh rumpun yang mengklaim tanah sekira dua ratusan hectare (Ha), Masmur, tak habis pikir lahan milik mereka kini justru jadi lahan sengketa dengan warga transmigrasi. Masmur dan beserta tiga adiknya dilahirkan dilokasi milik mereka saat ini, mengapa tiba-tiba diklaim sebagai milik transmigrasi?
Itupun kata Masmur, belakangan alasan lain muncul bahwa tanah milik mereka bukan lagi jadi lahan dua transmigrasi. Akan tetapi lahan tersebut ada yang sudah menjual.
Lalu siapa dalang yang sedang berupaya untuk merampas hak milik mereka? Bahkan Masmur juga mempertanyakan keterlibatan Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Konawe yang seolah garang kepada mereka. Padahal yang kami lakukan, ujar Masmur, hanya mempertahankan apa yang menjadi hak kami.
“Kalau memang ini lahan sudah dijual. Silahkan tuntut kepada yang sudah menjual. Bukti-bukti otentik bisa dicek. Kuburan nenek moyang kami masih ada. Bahkan tanaman masih ada yang tersisah,”ujarnya, Minggu (26/5/2024).
Jika melihat data, jelas sekali kalau lahan diklaim tidak masuk dalam wilayah transmigrasi. Masyarakat transmigran di Desa Tawamelewe didatangkan Pemerintah Pusat sejak tahun 1974. Saat itu, Uepai merupakan wilayah administratif Kecamatan Lambuya, sebelum akhirnya dimekarkan tahun 2003. Lahan transmigrasi yang disiapkan pemerintah saat itu mencapai 500 hektare. Namun kenyataannya, saat ini warga transmigran sudah memiliki lahan sekira 800 hektare.
Apalagi, peta yang ada menunjukan lokasi transmigrasi tidak masuk dalam wilayah milik Masmur dan keluarga tujuh rumpun itu.
“Lalu siapa yang memberikan kewenangan kepada warga transmigrasi untuk mengklaim lahan milik kami?,”paparnya.
Dia juga menyoroti, Pj Bupati Konawe, sudah menyampaikan beberapa kali bahwa jangan ada aktivitas lagi pada wilayah yang disengketakan. Namun, dilapangan justru aktivitas masih ada bahkan sudah melakukan penanaman padi.
“Jangan hanya kami yang dilarang. Pj Bupati harus tegas untuk menghentikan aktivitas bagi warga transmigrasi juga,”ucapnya.
Dari desas-desus yang ada, lanjut Masmur, lahan milik mereka bahkan sudah diterbitkan Sertifikat Hak Milik (SHM). Lalu siapa yang bermain sehingga berani mensertifikatkan tanah tersebut? Mengapa masih bersengketa tiba-tiba sudah terbit sertifikat.
“Setiap kali kami tanya mana bukti kepemilikan warga transmigrasi. Mereka selalu menyampaikan bahwa sudah ada dari pemerintah. Tapi sampai sekarang tidak pernah ditunjukan,”urainya.
Warga lain, Endang, juga menuturkan. Ayahnya pernah bertemu Kepala Desa Tawamelewe dan Kepala Desa Kasaeda dilahan yang mereka klaim saat ini. Setelah ditanya, ternyata muncul statemen bahwa mereka memiliki lahan tersebut atas dasar jual beli.
Nah ini, kata Endang, makin membingungkan. Dari awal narasi yang dibangun bahwa lahan tersebut masuk lahan dua milik warga transmigrasi. Tiba-tiba berubah bahwa kepemilikan warga trasmigrasi atas dasar jual beli.
“Pertanyaannya yang mana harus dipercaya? Apakah lahan tersebut masuk lahan transmigrasi atau klaim kepemilikan karena lahan tersebut sudah dijual?,”terangnya.
Selain itu, kata dia, apa yang menjadi polemik saat ini. Menurut dia, dalam menyelesaikan persoalan tersebut Pemda perlu bersikap independen dan proses penyelesaian harus arif, bijaksana, dan tentu juga memenuhi rasa keadilan.
Begitupun juga Aparat Penegak Hukum (APH), dalam menyelesaikan persoalan hukum yang terjadi jangan terjadi ketimpangan. Misalnya, kalau pihak A begitu ada laporan masuk cepat sekali diproses. Sementara kalau pihak B yang berbuat melanggar hukum tidak ada proses penindakan.
“Saya sendiri sudah melaporkan peristiwa penganiayaan terhadap diri saya da nada juga keluarga yang dirusak telepon selulernya. Namun hingga kini tak diproses pihak APH,”tambah Endang.
Jika melihat kondisi lapangan masih ditemukan makam atau kuburan. Artinya ada bukti otentik terkait kepemilikan lahan yang diklaim tujuh rumpun tersebut.
“Bukti eksistensi kan masih terlihat. Ada makam, ada juga bukti areal laloepe atau sagu. Itu kan menunjukan ada bukti eksistensi kepemilikan warga,”terangnya.
Sekedar informasi, lahan leluhur tujuh rumpun tersebut dulunya bernama Lowuno, Puubila, Torobibi dan Laangguni. Lahan tersebut kini sebagian ada di Desa Tawamelewe dan juga Desa Kasaeda. Saat ini ada sekira 350 Ha lahan persawahan baru, yg mereka katakan sebagai lahan dua, dan semuanya masuk di lahan leluhur di Lowuno, Puubila, Torobibi dan Langguni.